Dalam beberapa waktu terakhir ini Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Borneo Tarakan (UBT) bersama BEM Se-Kota Tarakan yang tergabung dalam Aliansi Strategis BEM Se-Kalimantan (BEM SEKA) secara konsisten melalui interaksi dan diskusi langsung dengan Petani Rumput Laut fokus menyoroti persoalan Rumput Laut di Kota Tarakan, Kalimantan Utara terutama perihal harga komoditas yang bersifat fluktuatif. Masalah ini sudah beberapa kali dibahas dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang menghadirkan pihak-pihak terkait. Namun, hingga saat ini belum ada implementasi yang jelas terkait solusi jangka pendek maupun panjang yang dijanjikan oleh para anggota dewan yang terhormat. Masyarakat pembudidaya rumput laut resah dan kecewa terhadap sikap pemerintah daerah yang seakan-akan acuh tak acuh terhadap persoalan ini.
Pemerintah selalu menyampaikan jawaban normatif sebab tidak stabilnya harga rumput laut berupa kualitas yang kurang optimal dan permintaan pasar internasioanal yang berkurang. Hal ini bertolak belakang dengan data yang kami peroleh dimana salah satu instansi pemerintah provinsi yakni DPMPTSP KALTARA menyampaikan “Kualitas rumput laut di Tarakan jauh lebih baik daripada di Sulawesi, bahkan yang terbaik di Indonesia” 24/07/2019. Kemudian menurut Laporan Perekonomian Provinsi Kalimantan Utara oleh Bank Indonesia (BI) tercatat volume ekspor rumput laut pada triwulan I dan II tahun 2023 masih cukup tinggi. Pemasok utama rumput laut Kaltara relatif lebih kondusif untuk mendukung produksi serta didukung dengan permintaan rumput laut yang tetap kuat.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan tertuang jelas apa yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab pemerintah daerah, antara lain :
Pasal 25 ayat 1 yang berbunyi “Usaha perikanan dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan, meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran”. Kemudian pada;
Pasal 25A Ayat 2 “Pemerintah dan pemerintah daerah membina dan memfasilitasi pengembangan usaha perikanan agar memenuhi standar mutu hasil perikanan”. Kemudian pada;Pasal 25B Ayat 1 “Pemerintah berkewajiban menyelenggarakan dan memfasilitasi kegiatan pemasaran usaha perikanan baik di dalam negeri maupun ke luar negeri”.
Begitu pun dengan peraturan turunan dari UU ini, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan atau Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 1/KEPMEN-KP/2019 tentang Pedoman Umum Pembudidayaan Rumput Laut. Artinya perihal pemasaran dan pengembangan kualitas rumput laut itu sudah menjadi tanggungjawab Pemerintah Daerah.
Selain itu, petani rumput laut juga resah dengan kehadiran Komunitas Pengusaha Rumput Laut (KPRL) yang membatasi pemasaran rumput laut. Dimana pada tanggal 15 September 2023 beredar Surat Peringatan Nomor 01/06/KPRL-TRL/IX/2023 yang ditujukan kepada salah seorang pembeli rumput laut non lokal karena melakukan pembelian rumput laut langsung dilapangan. Komunitas Pengusaha Rumput Laut (KPRL) berpandangan bahwa tindakan itu bertentangan dengan aturan komunitas.
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, ini bukan kali pertama KPRL melakukan sikap seperti itu. Setiap pembeli non lokal yang datang ke Pantai Amal bertujuan membeli rumput laut langsung dari petani, KPRL menindak dengan cara menghalangi, memarahi, dan memperingatkan, pembeli non lokal. Dari keterangan masyarakat juga disampaikan bahwa masalah tata niaga dan harga jual rumput laut sendiri itu ditentukan oleh mereka.
Tidak ada transparansi harga pasar serta menetapkan harga tanpa alasan yang konkret.
Dengan dipandang secara teoritis bahwa Eksistensi persaingan antar pelaku usaha memang perlu dijaga demi terselenggaranya pasar ekonomi, karena demi penggunaan sumber daya secara optimal perlu adanya persaingan usaha yang sangat efektif. Tetapi hal ini juga dapat berdampak negatif apabila dilakukan berdasarkan perilaku negatif. Ketidakstabilan harga rumput laut yang menjadi sumber penghidupan masyarakat pesisir membuat nasib mereka diambang batas. Berapa banyak orang yang kelaparan, berapa anak berhenti sekolah, berapa pemuda berhenti kuliah? Ribuan kepala keluarga menggantungkan hidupnya dari budidaya rumput laut.
Persoalan seputar rumput laut terbilang sudah berlarut – larut dan menjadi keresahan berjamaah masyarakat pesisir Kota Tarakan. Mereka lelah diberi makan janji, mereka lelah dibohongi, mereka lelah didengarkan pendapatnya tanpa ada hasil konkret. Dari berbagai rentetan problem, sungguh miris, alih-alih menghadirkan solusi. Pemerintah Daerah lebih suka mengurus kepentingannya sendiri untuk kepentingan pribadi. Bagaikan senja di ufuk barat, Pemprov dan Pemkot semakin jauh dari agenda Membangun Desa Menata Kota atau SMART CITY itu semua hanya konsepsi yang tinggal utopis. Mereka fokus membangun citra mereka. Padahal Citra tanpa perbaikan adalah omong kosong yang melanggengkan kebobrokan.
Dihadapkan dengan kondisi pemerintahan kita yang selalu mempertontonkan corak-corak kebodohan tidak ada jalan lain selain BERGERAK dan MELAWAN. Butuh duduk, diskusi, dan konsolidasi kaum intelek dan kaum tani membahas persoalan yang terjadi di Kota Tarakan dan Kalimantan Utara ini khususnya mengenai harga rumput laut dan sikap pemerintah darah yang abstain saat masyarakat membutuhkan. Maka kami meminta kepada mahasiswa yang tersebar di Kalimantan Utara untuk ikut menyuarakan dan mengundang seluruh lembaga kemahasiswaan di Kota Tarakan ikut serta menyikapi persoalan ini.