TARAKAN – Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Tarakan menyayangkan pemungutan suara Pilkada serentak 2024 di Tarakan, diduga diwarnai insiden kekerasan.
Berdasarkan pantauan dan penelusuran GMKI Tarakan saat berada di TPS, terlihat seorang pemilih memukul salah satu anggota KPPS di TPS No. 25, RT.19, Karang Anyar Pantai, Kecamatan Tarakan Barat. Kejadian ini berawal dari seorang pemilih DPT yang juga warga setempat, mendatangi TPS setelah penutupan pendaftaran. Ketika direspon oleh Ketua KPPS, sontak pemilih tersebut merasa keberatan sehingga melakukan pemukulan kepada Ketua KPPS itu.
Dijelaskan Ketua GMKI Cabang Tarakan, Michael Jama, perilaku tersebut harus menjadi perhatian serius, pertanggungjawaban dan evaluasi bagi Polres, KPU dan Bawaslu Kota Tarakan.
Selain upaya pengamanan, pihaknya menilai kesiapan KPU dan Bawaslu Kota Tarakan terlihat kurang dalam melayani pemilih, sehingga proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS tersebut sempat terhambat.
“Insiden ini menunjukkan bahwa pengamanan di TPS belum maksimal. Polres memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan setiap TPS berada dalam kondisi aman. Harus ada langkah preventif seperti penempatan petugas di titik-titik rawan, upaya dialogis saat riak dan patroli rutin untuk mencegah kejadian serupa. ,” tegas Michael pada Rabu, 27/11/2024 kepada awak media.
Michael juga menyoroti pentingnya koordinasi antara KPU, Bawaslu dan Polres untuk mengelola potensi konflik di TPS.
“KPU dan Bawaslu Tarakan harusnya bisa menjelaskan dengan lengkap kepada pemilih melalui jajaran di TPS sehingga pemilih tidak salah memahami prosedur. Kemudian memetakan kerawanan sejak awal, memberikan pemahaman atau arahan kepada KPPS dan PTPS tentang cara menghadapi situasi darurat, serta memastikan adanya protokol penanganan insiden seperti ini,” tambahnya.
Dalam pandangannya, insiden ini juga menjadi pengingat akan pentingnya respons cepat dari aparat keamanan dan penyelenggara pemilu.
“Jika ada petugas kepolisian yang berjaga di TPS, insiden ini bisa saja dicegah. Kehadiran polisi tidak hanya membantu menjaga ketertiban, tetapi juga memberikan rasa aman bagi petugas KPPS dan pemilih,” ujar Michael. Kehadiran petugas keamanan sangat lambat. Monitoring kedatangan pak Kapolres dan pak Johnson Anggota Bawaslu Tarakan juga lambat, tidak memberikan solusi. Ini kegagalan tersistem yang membuat pemilih kehilangan hak pilih dan petugas KPPS jadi korban,”tegas dia.
Lebih lanjut, Michael menegaskan bahwa proses Pilkada di Tarakan yang memakan biaya negara belasan miliar rupiah, harus dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan dengan baik. Baginya, jika kejadian serupa tidak dapat dicegah, akan menghambat tahapan pilkada selanjutnya seperti rekapitulasi hingga penetapan.
“Polres harus mengevaluasi strategi pengamanan hingga ke TPS. KPU dan Bawaslu memiliki tanggung jawab besar untuk mendidik masyarakat agar memahami bahwa pemilu dan pilkada harus mengedepankan kedamaian. Kekerasan bertentangan dengan nilai demokrasi yang kita junjung,” ungkap Michael.
Ia juga menekankan pentingnya sinergi antara Polres, KPU, dan Bawaslu untuk menjaga kredibilitas pilkada. “Insiden seperti ini dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap pilkada. Oleh karena itu, ketiga pihak ini harus meningkatkan koordinasi dan memastikan pilkada 2024 berjalan aman, tertib, dan kredibel di Tarakan hingga selesai,” tutupnya.