TARAKAN – Saat dikonfirmasi, Penyuluh Kehutanan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Tarakan Sugeng Widarno menerangkan, sejak beberapa tahun lalu pemerintah menyadari besar ancaman pengrusakan hutan lindung akibat kebutuhan ekonomi. Sehingga guna mencegah hal tersebut diperlukan stratagi khusus bersifat simbiosis mutualisme kepada masyarakat tempatan. Sehingga dalam hal ini, pemerintah menjalankan program pemanfaatan hutan lindung kepada masyarakat untuk membentuk Gabungan Kelompok Tani Hutan (GAPOKTANHUT). Sehingga program ini sudah berjalan di Kota Tarakan.
“Di sini memang salah satu pemegang izin pemanfaatan kawasan hutan, izin dari kementerian Kehutanan melalui UPTD KPH. Mereka di bawah naungan Gabungan Kelompok Tani Hutan (GAPOKTANHUT) Lestari Gunung Selatan. Memang di dalam kegiatannya masyarakat di sini, selain penanaman kayu dan lainnya. Ada juga yang namanya kalau kita di kehutanan namanya simpopiseri. Simpopiseri itu tanaman kehutanan dan perikanan. Kami dari UPTD KPH Tarakan lebih kepada pemberdayaan perekonomian masyarakat sehingga izin pemanfaatan diberikan dengan maksud masyarakat juga sama-sama menjaga kawasan hutan lindung ini,”ucap dirinya.
“Program pemanfaatan di Tarakan adalah dengan mengembangkan ikan air tawar yang berada di kawasan hutan lindung. Alhamdulillah saat ini berjalan cukup baik, dan mereka juga membantu memantau hutan lindung di Gunung Selatan. Misalnya ada kegiatan pembukaan lahan mereka langsung melaporkan kepada KPH,”sambungnya.
Sementara itu, salah satu masyarakat yang mendapatkan izin pengelolaan, Tadem mengaku cukup senang. Ia memanfaatkan program pemerintah untuk melakukan budidaya air tawar. Namun demikian, ia mengaku kesulitan memasarkan hasil panen terutama ikan emas, patin, dan gurame. Oleh karena itu, diharapkan ada campur tangan pemerintah untuk membukakan pasar.
“ini sudah beberapa tahun sebenarnya, kami buat kolamnya sendiri kami gali dan kami isi bibit. Ini sudah beberapa kali panen, sekarang saya isi ikan patin, gurame, dan ikan mas sulit dipasarkan. Kalau dulu sekitar tahun 2014 ada yang mengambil dari pengelola rumah makan. Namun sekarang sudah tidak ada lagi yang ambil kesini,”ungkapnya.
Diungkapkannya, Karena tidak ada yang mengambil secara rutin, proses panen tidak bisa serentak, kalau ada yang mau beli baru dilakukan pemanenan, itupun dalam jumlah yang terbatas. Kebanyakan hanya untuk konsumsi sendiri, tidak untuk dijual dalam bentuk sudah masak.
“Sekarang ini tidak menentu, kadang-kadang baru bisa kita jual kalau ada yang datang mau beli, itupun dalam jumlah terbatas. Sehingga panen tidak bisa di prediksi, tetapi tergantung pembeli, makanya kita pelihara dalam jumlah terbatas juga,” ucapnya.