TARAKAN – Adanya kritikan terhadap kunjungan Menteri Sosial Tri Rismaharini yang dilontarkan oleh salah Satu politisi Kaltara yakni Marli Kamis menuai banyak perhatian masyarakat. Bagaimana tidak, dalam kritikan tersebut sosok Marli menyebut tidak adanya koordinasi kepada kepala Pemerintah Daerah sebelum kunjungan. Sehingga hal tersebut diklaim Marli melanggar etika.
Menanggapi hal itu, Ferry Ellisa. B. Siran selaku Petinggi dan salah satu tokoh Dewan Adat Dayak Kalimantan Utara (Kaltara) menyayangkan kritikan tersebut . Menurutnya, sebagai petinggi Dewan Adat Dayak tidak seharusnya anggota DPRD Kaltara tersebut membawa nama Adat dalam kritiknya apalagi, penyebutan Adat tersebut secara eksplisit menyebut salah satu sub Suku Dayak.
“Sebenarnyab berbicara terkait pemerintah dan politik dengan membawa-bawa nama Adat,kami kira tidak etis. Di dalam penyampaiannya, kami sangat menyayangkan seolah-olah ini dikait-kaitnya dengan budaya Adat. Padahal hemat saya tidak seharusnya membawa nama Adat dalam mengritik hal semacam itu,”ujarnya, (5/11/2023).
Apalagi kata Feri, pernyataan tersebut disebut melanggar etika yang dihubungkan dengan kultur Adat. Menurut Feri kunjungan Mensos tersebut tentunya telah direncanakan matang dan melakukan koordinasi jauh hari sebelumnya. Sehingga menurut Feri kritikan tersebut tidak lebih ialah atas sentimentil politik yang tidak berdasar.
“Saya mohon dengan hormat agar lain kali hal semacam ini tidak terulang. Bisa disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Kalau bersangkutan berbicara sebagai tokoh Adat, itu seharusnya dibicarakan dulu bersama tokoh Adat lainnya. Supaya ini tidak terkesan atas kepentingan kelompok atau oknum tertentu,”
“Sebagai masyarakat Dayak, kita tentu menerima dan menyambut siapa saja yang datang dengan membawa kebaikan. Sehingga tidak ada alasan bagi kita, untuk berkata Mentri ini tidak punya etika atau menyinggung pemerintah daerah. Tentu kita menerima kedatangan siapa saja yang ingin membangun Kaltara,”jelasnya.
Lanjutnya, pihaknya memahami di tahun politik dinamika dan drama politik berjalan cukup masif. kendati demikian, ia mengajak seluruh masyarakat agar tetap berpolitik secara sehat dan tidak memanfaatkan SARA dalam berpolitik. Karena baginya, lembaga Adat Dayak tidak ingin terlibat jauh dalam aktiviyas dinamika politik yang menjadi ranah Partai Politik.
“Kalau kita berbicara Adat dalam hal lain, mungkin itu cukup baik, tapi untuk hal mengkritik kebijakan pemerintah, atau urusan politik lainnya. Saya kira ini tidak elok. Karena tidak semua masyarakat Dayak Lundayeh tidak suka atas kunjungan tersebut. Jangan kemudian kita merasa mewakilkan semua, menyatakan pendapat kita. Sehingga hal ini tidak menyeret lembaga Adat terikat pada kelompok politik tertentu,”tuturnya.
Ia berpesan, sebagai orang yang dituakan dalam Lembaga Adat pihaknya meminta hal ini tidak menjadi contoh bagi masyarakat lainnya. Karena menurutnya meski terkesan sepele namun hal tersebut membawa membawa dampak besar bagi nasib Kaltara ke depannya.
“Kalau kita berbicara suku, agama, komunitas, semua memiliki kedudukan sama. Sehingga jangan sampai jika hal ini dinggap benar kemudian ditiru dengan kelompok lainnya. Ini yang saya khawatirkan, dan mari sama-sama kita saling mengingatkan untuk tidak membawa SARA dalam urusan politik. Bukankah itu adalah intruksi negara agar kita tidak melakukan politik identitas. Warga masyarakat adat, rendah hati, sederhana, saling menopang satu sama yg lain demi mempertahan kan nama baik lembaga adat, utk kemajuan Provinsi Kaltara,”pungkasnya.