Oleh: Bahar Mahmud, S.Pd.Gr
Kita rajin memuji ibu sebagai pahlawan, mengangkatnya ke “langit” dengan kata-kata, bahkan menjanjikan surga di bawah telapak kakinya. Namun terlalu sering, kita lupa membersihkan jalan yang ia pijak. Di balik rumah yang tampak baik-baik saja, ada ibu yang menahan lelah sendirian-tubuhnya diabaikan, jiwanya jarang ditanya kabarnya.
Bangsa ini tidak kekurangan slogan tentang ketahanan, tetapi kerap lupa pada satu fakta sederhana: tidak ada keluarga yang tangguh, apalagi bangsa yang kuat, jika para ibunya hidup dalam kelelahan yang dinormalisasi.
Ketika ibu terus diminta kuat tanpa diberi ruang untuk sehat dan bahagia, yang kita bangun bukan ketangguhan, melainkan kelelahan yang diwariskan lintas generasi.

Karena itu, Hari Ibu bukan sekadar ucapan dan seremoni tahunan. Ia adalah cermin Iman, kemanusiaan, dan nasionalisme kita, sekaligus alarm keras bahwa ada yang harus dibenahi dalam cara kita memperlakukan ibu di negeri ini.
Sejarah Hari Ibu Indonesia lahir dari kesadaran tersebut. Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928 bukanlah perayaan simbolik, melainkan perjuangan martabat, pendidikan, dan keadilan bagi perempuan. Sejak awal, Hari Ibu dimaksudkan sebagai hari kesadaran sosial, bukan hari seremonial. Maka pertanyaan penting hari ini bukan seberapa indah kita memuji ibu, tetapi seberapa sungguh kita menjaga kehidupannya.
Dalam realitas sehari-hari, ibu memikul peran yang berlapis. Ia menjadi pengasuh, pendidik pertama, penjaga emosi keluarga, pengelola rumah, bahkan penyangga ekonomi. Namun di balik peran besar itu, kelelahan ibu sering dianggap kewajaran, sakit dianggap kurang sabar, dan kebutuhan akan jeda dianggap kelemahan. Inilah ketidakadilan yang kerap kita wariskan tanpa sadar, dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Padahal spiritualitas tidak pernah mengajarkan penghapusan hak atas kesehatan dan kebahagiaan. Iman justru menuntun pada keseimbangan. Menjaga tubuh, menenangkan jiwa, dan merawat diri adalah bagian dari amanah kehidupan.
Ibu yang bahagia bukan ibu yang lalai, melainkan ibu yang mampu mencintai dan mendidik dengan utuh karena dirinya sendiri tidak kosong.
Jika kita sungguh ingin membenahi cara memperlakukan ibu, maka perubahan harus dimulai dari kesadaran paling dasar.
Pertama, hentikan normalisasi kelelahan ibu. Lelah adalah sinyal kemanusiaan, bukan aib. Meminta bantuan bukan kegagalan, melainkan ikhtiar agar keluarga tetap sehat dan utuh.
Kedua, benahi pembagian peran di dalam keluarga. Ketangguhan tidak lahir dari satu orang yang memikul segalanya. Ia tumbuh dari kerja sama, saling menopang, dan kesadaran bahwa rumah adalah amanah bersama, bukan beban sepihak.
Ketiga, tempatkan kesehatan ibu sebagai prioritas publik dan nasional. Ibu yang sehat melahirkan generasi yang sehat. Bangsa yang serius membangun masa depan tidak akan mengabaikan kesehatan fisik dan mental para ibunya, karena dari sanalah kualitas manusia Indonesia ditentukan.
Keempat, luruskan cara kita memahami spiritualitas. Iman bukan alasan untuk membiarkan ibu hancur dalam pengorbanan sunyi. Justru menjaga diri, menjaga martabat hidup, dan menjaga keseimbangan adalah bagian dari ibadah dan tanggung jawab moral.
Kelima, belajar mendengar suara ibu. Bukan hanya menuntut perannya, tetapi menghargai pandangannya, pengalamannya, dan kebijaksanaannya dalam menentukan arah keluarga dan kehidupan.
Membenahi cara kita memperlakukan ibu sejatinya adalah membenahi arah peradaban. Dari ibu yang dihormati lahir keluarga yang saling menguatkan. Dari keluarga yang saling menguatkan lahir Bangsa yang tidak rapuh menghadapi krisis, tidak mudah retak oleh perbedaan, dan tidak kehilangan arah di tengah perubahan zaman.
Pada akhirnya, memuliakan ibu bukan soal seberapa sering kita mengucapkannya, melainkan seberapa sungguh kita menjaganya. Sebab dari tubuh ibu yang sehat lahir generasi yang kuat, dan dari jiwa ibu yang bahagia mengalir ketenangan ke seluruh rumah. Di sanalah doa menemukan bentuknya, iman menjelma tindakan, dan cinta bekerja tanpa perlu banyak kata.
Jika kita ingin Bangsa ini kokoh menghadapi zaman yang gelisah, maka mulailah dari hal paling mendasar: jangan biarkan ibu berjalan sendirian. Ringankan bebannya, dengarkan suaranya, jaga kesehatannya, dan muliakan kehidupannya. Karena ibu bukan hanya tiang rumah, ia adalah cahaya yang menuntun arah.
Hari Ibu bukan sekadar tanggal di kalender. Ia adalah panggilan nurani untuk kembali adil, kembali peduli, dan kembali manusiawi. Dan ketika kita sungguh menjaga ibu dengan kesadaran dan cinta, saat itulah keluarga menemukan ketangguhannya, dan bangsa ini berdiri tegak bukan karena kekuasaan, melainkan karena rahmat yang dijaga bersama.













