TARAKAN – Keputusan Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara (Pemprov Kaltara) menghentikan insentif bagi guru TK, SD, dan SMP menuai kritik dari berbagai kalangan. Dewantara, M.Pd, pengamat kebijakan pendidikan Kaltara, menyebut kebijakan ini tidak selaras dengan arah pembangunan nasional, khususnya visi Presiden terpilih Prabowo Subianto yang menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama.
“Di saat Presiden terpilih justru menegaskan akan memperkuat pendidikan sejak jenjang dasar melalui program makan siang bergizi gratis, mempermudah administrasi pembelajaran guru, hingga menaikkan kesejahteraan dan tunjangan guru, Pemprov Kaltara justru mengambil langkah sebaliknya: menghentikan insentif guru yang sudah berjalan selama tujuh tahun,” ujar Dewantara, Senin (7/4).
Menurutnya, kebijakan ini bukan hanya soal kewenangan administratif antara provinsi dan kabupaten/kota, tetapi mencerminkan apakah ada keberpihakan nyata terhadap guru sebagai ujung tombak pendidikan. Ia mengingatkan bahwa meskipun pengelolaan guru TK, SD, dan SMP berada di ranah kabupaten/kota, tetapi tidak ada larangan bagi provinsi untuk turut membantu, sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang memungkinkan adanya sinergi antarlevel pemerintahan untuk urusan pendidikan.
“Pasal 31 UUD 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan negara wajib memajukan ilmu pengetahuan serta menjamin pendanaan pendidikan minimal 20 persen dari APBD. Apakah sudah dipastikan anggaran 20 persen itu diarahkan tepat sasaran? Jangan sampai hak guru terabaikan di tengah kewajiban konstitusional ini,” tegasnya.
Dewa menilai, dalih efisiensi anggaran dan hasil audit dari BPK yang dijadikan alasan penghentian justru menunjukkan lemahnya perencanaan dan mitigasi sejak awal. Ia menegaskan bahwa jika memang terdapat kekeliruan administratif, solusinya bukan memutus bantuan, tetapi memperbaiki tata kelola dan memastikan program tetap berjalan secara sah dan terukur.
“Masalahnya bukan insentif ini ilegal, tapi pengelolaannya yang belum mengikuti prinsip anggaran berbasis kinerja secara optimal. Itu bisa dibenahi, bukan diberhentikan,” jelasnya.
Di sisi lain, Dewa mengapresiasi langkah pemerintah kabupaten/kota di Kaltara yang tetap berkomitmen memberikan insentif sesuai kewenangan mereka. Ia berharap Pemprov tidak melepaskan tanggung jawab secara moral, karena pada dasarnya anak-anak yang dididik para guru tersebut adalah juga warga Kaltara yang menjadi bagian dari visi pembangunan provinsi.
“Kebijakan ini seolah tidak punya arah yang sinkron dengan arah kebijakan nasional. Ketika pusat sudah mulai bicara kesejahteraan dan perbaikan mutu guru, kita justru mundur ke belakang dengan alasan formalitas,” ungkapnya.
Dewa mendorong agar Pemprov membuka ruang dialog terbuka bersama Pemkab/Pemkot, DPRD, dan forum guru untuk merancang ulang skema insentif yang sah, akuntabel, namun tetap berpihak pada kesejahteraan pendidik.
“Kita tidak butuh alasan, kita butuh solusi. Pendidikan itu tanggung jawab bersama. Jika Presiden Prabowo saja memulai pemerintahannya dengan niat memuliakan guru, maka sudah semestinya daerah pun turut mengikuti semangat itu, bukan menjauh darinya,” pungkasnya.