Senin, Mei 19, 2025
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Penulisan
  • Pedoman Media Siber
  • Privacy Policy
  • Terms and Conditions
  • Disclaimer
  • TV Online
HeadlineKU
  • Kaltara
    • Bulungan
    • Tarakan
    • Nunukan
    • Malinau
    • Tana Tidung
  • Pemerintahan
  • Parlementer
  • Politik
  • Hukum & Kriminal
  • Ragam
    • Teknologi
    • Pendidikan
    • Sport
    • Kuliner
    • Traveling
  • Liputan Khusus
    • Advetorial
    • Nasional
    • Internasional
    • Investigasi
    • Opini
No Result
View All Result
  • Kaltara
    • Bulungan
    • Tarakan
    • Nunukan
    • Malinau
    • Tana Tidung
  • Pemerintahan
  • Parlementer
  • Politik
  • Hukum & Kriminal
  • Ragam
    • Teknologi
    • Pendidikan
    • Sport
    • Kuliner
    • Traveling
  • Liputan Khusus
    • Advetorial
    • Nasional
    • Internasional
    • Investigasi
    • Opini
No Result
View All Result
HeadlineKU
No Result
View All Result
Home Opini

Tubuh Perempuan, Tanah Penindasan : Dari Sirkus, Sawit hingga Warisan Marsinah

Oleh : Nurliani Saputri Ketua Umum KOHATI Komisariat Ekonomi Raya Cabang Tarakan

Redaksi HeadlineKu by Redaksi HeadlineKu
30 April 2025
in Opini
Share on FacebookShare on Twitter

Setiap 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional, momen yang sejatinya menjadi refleksi perjuangan panjang kelas pekerja untuk mendapatkan hak dan keadilan sosial. Di Indonesia, perayaan ini kerap kali dipenuhi dengan unjuk rasa, orasi, dan tuntutan yang berulang setiap tahun upah layak, jaminan kerja, perlindungan sosial, serta penghapusan sistem kerja yang eksploitatif.

Ironisnya, meski pemerintah dan berbagai lembaga kerap menggelar seremoni untuk “menghormati buruh”, realitas di lapangan menunjukkan betapa masih jauhnya pemenuhan hak-hak tersebut. Fleksibilisasi tenaga kerja yang dibungkus dengan istilah “kemudahan berusaha” dalam regulasi seperti UU Cipta Kerja justru memperlihatkan ketimpangan yang kian melebar: buruh semakin kehilangan kepastian kerja, sementara keuntungan korporasi terus dimaksimalkan.

Hari Buruh seharusnya tidak sekadar menjadi ritual tahunan yang dibungkus dengan slogan-slogan kosong. Ia harus menjadi pengingat bahwa tanpa buruh, roda ekonomi akan berhenti. Namun selama buruh hanya dijadikan alat produksi tanpa diberikan keadilan yang setimpal, maka setiap 1 Mei adalah alarm keras bagi negara untuk bertanggung jawab.Sudah waktunya kita menuntut bukan hanya janji perubahan, tapi keberpihakan nyata reformasi perburuhan yang adil, penegakan hukum ketenagakerjaan yang tegas, dan pengakuan penuh atas martabat buruh sebagai manusia, bukan sekadar angka dalam neraca keuangan.

Dalam lanskap perburuhan, perempuan memegang peran sentral yang kerap kali terlupakan. Mereka tidak hanya menjadi bagian dari kekuatan produktif, tetapi juga menopang kehidupan sosial-ekonomi dengan beban kerja ganda—di ruang industri dan di ruang domestik. Namun ironisnya, kontribusi besar ini tidak berbanding lurus dengan pengakuan atas hak-hak mereka. Perempuan pekerja masih menempati posisi paling rentan dalam struktur kelas buruh: menerima upah lebih rendah, menghadapi diskriminasi, mengalami kekerasan berbasis gender, dan kerap dikesampingkan dalam proses pengambilan keputusan.

Ketimpangan Struktural dalam Dunia Kerja

Statistik global dan nasional menunjukkan adanya ketimpangan sistemik: perempuan rata-rata menerima upah 20-30% lebih rendah daripada laki-laki untuk pekerjaan yang sama nilainya. Mereka juga lebih sering bekerja di sektor informal, tanpa perlindungan hukum yang memadai. Di pabrik-pabrik garmen, elektronik, hingga sektor layanan, perempuan menjadi tulang punggung produksi, tetapi sering dikondisikan dalam sistem kerja kontrak jangka pendek yang membuat mereka mudah diberhentikan dan sulit mengakses hak-hak seperti cuti hamil, cuti haid, atau asuransi kesehatan.

Viralnya kesaksian pilu para perempuan eks-pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) membuka luka lama yang selama ini disembunyikan rapi: bahwa di balik gemerlap hiburan publik, terjadi eksploitasi sistematis terhadap tubuh dan martabat pekerja perempuan. Kesaksian tentang disetrum, dikurung di kandang macan, dipekerjakan saat hamil, hingga dipisahkan paksa dari anak, adalah cermin telanjang dari wajah perbudakan modern di Indonesia.

Kasus ini bukan sekadar kekerasan individual. Ia menunjuk pada betapa lemahnya perlindungan hukum bagi pekerja perempuan di industri hiburan yang dibiarkan tanpa pengawasan. Ironis, ketika negara membanggakan prestasi pariwisata, ia menutup mata terhadap praktik perbudakan di dalamnya. Kekerasan struktural ini memperjelas bahwa di Indonesia, menjadi perempuan pekerja berarti terus-menerus berada di ruang abu-abu antara kerja produktif dan pelecehan.

Realitas tragis ini tidak berdiri sendiri. Di Kalimantan Utara, di tengah hamparan kebun sawit yang disebut-sebut sebagai motor ekonomi nasional, buruh perempuan pun mengalami bentuk eksploitasi serupa: kerja berjam-jam dengan upah di bawah minimum, tanpa perlindungan kesehatan, dan rentan terhadap kekerasan seksual di tempat kerja. Banyak dari mereka diikat dalam skema kerja kontrak yang fleksibel hanya untuk menghindari kewajiban jaminan sosial dari perusahaan. Tubuh perempuan kembali menjadi objek ekonomi brutal: di sirkus, mereka dijadikan tontonan; di perkebunan, mereka dijadikan alat produksi murah.

Nasib buruh perempuan di Kalimantan Utara memperlihatkan pola eksklusi yang terstruktur: mayoritas tidak memiliki akses terhadap serikat pekerja, suaranya direpresi, dan keluhannya terhadap kekerasan seksual sering dipadamkan dengan ancaman pemecatan. Sama seperti di arena sirkus, di ladang sawit pun perempuan pekerja dipandang lebih sebagai alat daripada sebagai manusia.

Kejahatan ini terjadi dalam sistem yang melegitimasi ketidakadilan perusahaan mengejar keuntungan, sementara negara gagal hadir sebagai pelindung hak. Dalam dua dunia yang tampak berbeda – panggung sirkus dan ladang sawit – logika penindasan yang sama berlaku: perempuan pekerja adalah yang paling mudah dieksploitasi, dan yang paling sulit mendapatkan keadilan.

Mengabaikan suara perempuan dalam perjuangan buruh sama saja dengan membiarkan setengah kekuatan proletariat lumpuh. Sebaliknya, mengangkat peran dan hak perempuan pekerja adalah memperkuat seluruh barisan perlawanan terhadap eksploitasi dan ketidakadilan.

Perempuan bukan hanya korban dalam sistem kapitalisme patriarkal, tetapi juga subjek aktif perubahan sosial. Merayakan Hari Buruh berarti juga menegaskan bahwa tanpa keadilan gender, tidak akan pernah ada keadilan kelas yang sejati.

Kasus-kasus ini harus menggerakkan kita untuk memahami bahwa perjuangan buruh perempuan bukanlah cerita masa lalu yang selesai di Hari Buruh. Ini adalah tragedi kontemporer yang menuntut jawaban politik dan moral. Negara harus segera merevisi mekanisme perlindungan pekerja perempuan lintas sektor dari hiburan, perkebunan, manufaktur, hingga sektor informal. Serikat buruh, organisasi perempuan, dan gerakan masyarakat sipil harus bersatu melawan logika ekonomi eksploitatif ini.

Di Indonesia, salah satu nama yang paling menggema dalam sejarah perjuangan buruh—dan sekaligus menandai betapa berisikonya menjadi buruh perempuan yang bersuara—adalah Marsinah. Marsinah, buruh pabrik di Sidoarjo, Jawa Timur, pada 1993 menjadi simbol keteguhan seorang perempuan pekerja melawan ketidakadilan. Ia terlibat aktif dalam menuntut kenaikan upah minimum dan melawan tekanan militer terhadap serikat pekerja. Karena keberaniannya, Marsinah diculik, disiksa, dan akhirnya ditemukan tewas secara mengenaskan. Sampai hari ini, keadilan untuk Marsinah masih menjadi luka terbuka dalam sejarah bangsa ini.
Kasus Marsinah membongkar banyak lapisan ketidakadilan: kekerasan negara terhadap buruh, pembungkaman suara perempuan, dan lemahnya perlindungan hukum terhadap hak-hak pekerja. Ia menunjukkan bahwa menjadi buruh bukan hanya soal bertahan hidup dalam upah minim, tetapi juga berhadapan dengan risiko kehilangan nyawa saat memperjuangkan hak yang paling mendasar.

Mengingat Marsinah berarti menyadari bahwa buruh perempuan bukan objek belas kasihan, melainkan subjek perubahan. Mereka bukan hanya membutuhkan perlindungan, tetapi hak untuk berorganisasi, berbicara, dan memperjuangkan nasib mereka sendiri.
Marsinah adalah simbol bahwa ketidakadilan terhadap buruh—khususnya perempuan—bukan hanya soal masa lalu, tetapi soal struktur sosial-politik yang masih bertahan hingga hari ini. Dalam setiap orasi, dalam setiap tuntutan upah layak, dalam setiap perjuangan untuk kondisi kerja yang manusiawi, nama Marsinah harus tetap disebut.

Eksploitasi terhadap perempuan pekerja – di mana pun ia terjadi – adalah pengkhianatan terhadap prinsip dasar kemanusiaan. Dan selama satu perempuan pekerja masih disetrum, dikurung, dilecehkan, atau dipaksa bekerja di bawah ancaman, maka seluruh masyarakat kita bersalah.

Karena diam di hadapan eksploitasi adalah bentuk lain dari kekerasan itu sendiri.
Karena selama ketidakadilan masih bercokol, maka semangat Marsinah harus terus hidup dalam diri setiap pekerja yang berani berkata: cukup sudah penindasan ini.
Hari Buruh Internasional adalah hari perlawanan. Selama ketidakadilan masih menjadi kenyataan, maka semangat perjuangan buruh tidak boleh padam.

Previous Post

Rakor SPBE Se-Kaltara, Dorong Implementasi SPBE Dalam Pelayanan Publik

Next Post

RDP dengan Komisi II DPR RI, Gubernur Minta Pemerintah Pusat Fokus Bangun Perbatasan

Redaksi HeadlineKu

Redaksi HeadlineKu

Next Post

RDP dengan Komisi II DPR RI, Gubernur Minta Pemerintah Pusat Fokus Bangun Perbatasan

  • Trending
  • Comments
  • Latest

Ajak Orang Tua Sosialisasikan Dampak Penggunaan Gawai

25 Juli 2023

Pembangunan SUTET Masuk Tahap Konsultasi Publik

1 Agustus 2023

Akibat Kecanduan Narkoba, IRT Rela Disetubuhi Pengedar

17 November 2021

Niat Cari Rumput, Warga Kelurahan Karang Harapan Temukan Mayat Pria Di sungai

14 Juni 2021

Bantuan Listrik Gratis, Wujud Keadilan Energi di Kaltara

3782

Dapat Perahu Baru, Sanusi Siap Kembali Melaut

3554

Insentif Guru dan Tenaga Kependidikan Disalurkan Bulan Depan

3388

Pembangunan SUTET Masuk Tahap Konsultasi Publik

3381

Rayakan Waisak, Wali Kota Tarakan Ramaikan Jalan Santai Umat Budha

19 Mei 2025

Wagub Kaltara Resmikan Gedung Vihara Parama Sinar Borobudur di Tarakan

19 Mei 2025

Membanggakan! Gubernur Zainal Kembali Raih Penghargaan “The Best Innovation Leader Indonesia 2025”

18 Mei 2025

Pemprov Kaltara Minta Semua Pihak Prioritaskan Pencegahan Karhutla

18 Mei 2025

Recent News

Rayakan Waisak, Wali Kota Tarakan Ramaikan Jalan Santai Umat Budha

19 Mei 2025

Wagub Kaltara Resmikan Gedung Vihara Parama Sinar Borobudur di Tarakan

19 Mei 2025

Membanggakan! Gubernur Zainal Kembali Raih Penghargaan “The Best Innovation Leader Indonesia 2025”

18 Mei 2025

Pemprov Kaltara Minta Semua Pihak Prioritaskan Pencegahan Karhutla

18 Mei 2025
HeadlineKU

© 2024 - Headlineku.com

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Penulisan
  • Pedoman Media Siber
  • Privacy Policy
  • Terms and Conditions
  • Disclaimer
  • TV Online

No Result
View All Result
  • Kaltara
    • Bulungan
    • Tarakan
    • Nunukan
    • Malinau
    • Tana Tidung
  • Pemerintahan
  • Parlementer
  • Politik
  • Hukum & Kriminal
  • Ragam
    • Teknologi
    • Pendidikan
    • Sport
    • Kuliner
    • Traveling
  • Liputan Khusus
    • Advetorial
    • Nasional
    • Internasional
    • Investigasi
    • Opini

© 2024 - Headlineku.com